Selasa, 10 Januari 2012

I’sha, Wanita Punk yang Menjadi Muallaf

Selama beberapa bulan terakhir ini, Lucy Osborne telah mewawancarai perempuan-perempuan di Inggris yang telah masuk Islam. Tulisan ini adalah tulisan Lucy Osborne yang dikirimkan ke The Times tentang peningkatan jumlah perempuan Inggris yang memeluk Islam. Tapi, mengapa mereka masih dipandang dengan penuh kecurigaan.
Jumlah mualaf di Inggris meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun dan hampir dua pertiganya adalah perempuan. Lucy Osborne, yang berprofesi sebagai jurnalis lepas (freelance) sekaligus penulis ficer, menyelidiki mengapa hal ini terjadi.
I’sha adalah salah satu wanita mualaf yang diwawancarai oleh Lucy Osborne. Keluarga I’sha tidak menyetujui pilihan I’sha untuk menjadi seorang muslim. Keluarga semakin tidak setuju karena I’Sha dalam kesehariannya menggunakan pakaian niqab yang hanya memperlihatkan kedua bola matanya.
“Ketika saya pertama kali memberitahu orangtuaku bahwa aku menjadi seorang Muslim, mereka tidak ingin ada yang tahu. Apakah itu keluarga atau tetangga,” kata I’Sha (40) yang masuk Islam sejak empat tahun lalu. ”Mereka tidak bisa mengerti keputusan saya.”
Lingkungan kini menentang I’Sha yang telah memutuskan untuk masuk Islam. ”Orang-orang di mana saya dibesarkan kini berbalik melawan aku. Mereka tidak ingin anak-anak mereka bersama dengan anak-anak saya. Mereka menilai saya sudah gila.”
Seperti banyak orang, agama tidak tumbuh dalam kehidupan sehari-hari. Jika I’Sha pulang dari sekolah dan berbicara tentang Tuhan, ayah selalu akan mengatakan,”sekarang, hanya ada satu Tuhan di sini dan itu saya.”
Temukan Jalan Pulang
I’sha, seorang pekerja perempuan pendukung di Masjid London Timur, berasal dari Newcastle. Dia adalah salah satu dari 100.000 orang Inggris yang saat ini telah masuk Islam. Menurut hasil studi Faith Matters oleh Kevin Brice dari Universitas Swansea, sebanyak 5.200 warga Inggris tahun lalu telah menjadi mualaf.
Pengalaman I’sha tidak biasa. Mayoritas publik Inggris masih memandang Islam, yang merupakan agama terbesar kedua di Inggris, sebagai sebuah keyakinan yang aneh dan asing. Tapi, I’sha tidak seperti kebanyakan orang yang berpikir negatif tentang Islam.
“Saya justru merasa seperti sudah pulang,” katanya. “Melalui Islam, saya telah menemukan jawaban atas segala pertanyaan yang saya punya. Saya telah menemukan kedamaian sejati.”
I’sha dulunya adalah seorang punk. Dia memakai pakaian yang potongannya terbilang ‘memalukan’. I’Sha tentunya berpotongan rambut Mohican yang mirip landak. Adiknya secara terbuka memproklamirkan diri sebagai seorang lesbian.
Ketika mengatakan kepada keluarganya, teman dan rekan-rekan bahwa dia telah memeluk Islam, I’Sha mengatakan bahwa dirinya tetap tidak berubah. “Saya mencoba untuk meyakinkan mereka bahwa aku masih si lidah panjang dari utara seperti dulu. Tetapi, menjadi seorang Muslim itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang ‘cool’.”
”Ketika orang melihat Anda berkulit putih dan orang Inggris, maka mereka benar-benar berperilaku kasar terhadap Anda. Karena, mereka berpikir bahwa Anda telah kembali pada cara hidup mereka,” tambah I’sha.
Dari : KisahMuallaf.com

Sayed Man, Si Gangster Itu Pun Menangis Saat Mendengar Al Quran


Saat pindah ke bagian barat Jerman, usai tembok Berlin runtuh, Sayed Mann, kala itu 12 tahun, adalah bocah yang tengah bingung mencari identitas diri. Keluarganya berasal dari Jerman Timur.
Tumbuh besar di lingkungan sosialis, agama tidak pernah ada dalam kamus keluarga dan hidupnya. Ia cenderung tersenyum sinis saat melihat orang-orang pemeluk keyakinan tertentu, termasuk Muslim,
Di Jerman Barat ia melihat situasi yang berbeda. Imigran lebih banyak dijumpai dan ia pun berkawan dengan beberapa orang asing.
“Saya tidak terbiasa dengan kehidupan baru saat itu,” aku Sayed. “Kami tiap hari hidup seperti sampah. Idola kami adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukiman terisolir,” tuturnya.
Mengidolakan mereka, pria yang dulunya bernama Sved Mann itu pun juga mencontoh perilaku para imigran itu. “Saya melakukan banyak hal buruk termasuk mencuri dan sebagainya,” kenang Sayed.
Hingga akhirnya ia bertemu dengan seorang imigran berasal dari Turki yang menjadi kawan akrabnya. Si kawan itulah yang kemudian mengenalkan Sayed pada Islam dan berhasil mengajaknya memeluk agama tersebut.
Kawan Sayed memiliki kakak lelaki seorang imam masjid lokal. Ketika si adik memberi thau niatnya untuk mengajak Sayed berkunjung ke masjid, sang imam mengaku pesimis.
“Saya bilang, ‘Dia? Tidak Mungkin’. Tapi adik saya sudah bertekad bulat. Bahkan ia mengatakan Sayed akan memeluk Islam sepulangnya saya dari bepergian,” tuturnya.
Tiga bulan kemudian, ketika si imam pulang kembali ia tiba-tiba disambut oleh Sayed dengan sapaan Assalamu’alaikum. “Wow saya terkejut. Ini benar-benar luar biasa,” ujarnya. “Saya bahkan sempat bertanya (pada Sayed-red) ‘Apa yang terjadi padamu?’”.
Rupanya si imam memahami selama ini Sayed selalu mencari, namun ia tak pernah-pernah meluangkan waktu dan cenderung mengabaikan ketimbang bersungguh-sungguh.
“Ia mengatakan selalu percaya dengan keberadaan Tuhan, saya kira itulah yang menuntun dia,” kata si imam. “Saya melihat ia bahagia telah menemukan Islam.
Kini si imam bahkan menjadi guru mengaji Sayed. Dengan disiplin ia belajar bahasa Arab demi dapat membaca Al Qur’an
Tapi Sayeed tak ingin disebut pindah agama. “Tak pernah ada istilah berubah agama dalam Islam,” ujarnya. “Dalam Al Qur’an disebutkan tak ada paksaan dalam beragama,” imbuh Sayed lagi.
Lalu? “Saya lebih suka mendeskripsikan sebagai ‘seseorang telah mengenalkan saya pada Islam dan saya menuju agama itu,” papar Sayed.
Ketika ditanya oleh Cengiz Kultur, sebuah proyek independen pembuatan film dokumenter tentang agama dan budaya di Jerman, mengapa ia memilih Islam, dengan mantap Sayed menjawab, “Karena pada akhirnya semuanya adalah, Islam,” ujarnya menekankan pada makna kata tersebut yakni berserah diri.
Ia telah mengucapkan ikrar dengan syahadat sepuluh tahun lalu. Sejak saat itu ia rajin membaca untuk mengetahui dan mengenal lebih dalam apa makna Islam, termasuk bagi dirinya.
Islam bagi Sayed adalah menyerahkan keinginan diri di bawah kehendak Tuhan. Mengapa ia mau melakukan? “Karena dengan itu nanti saya dapat bertemu dengan Pencipta saya, saya dapat menjumpai surga. Saya berhak untuk itu dan saya kira itulah Islam menurut saya saat ini,” papar Sayed ketika ditanya esensi Islam o
Sejak sepuluh tahun pula, Sayed melakukan shalat lima kali dalam sehari. “Ketika anda shalat anda absen dan istirahat dari dunia dan seluruh isinya. Anda membersihkn dan menghadap Sang Pencipta,” ujarnya.
Ia mengaku tak ada strategi khusus untuk melakukan shalat lima kali dalam sehari di Jerman. “Setiap orang pasti bisa menemukan tempat untuk berwudhu, membasuh diri dan melakukan shalat,” ujarnya tanpa beban.
Sayed mengaku menemukan keyakinannya setelah diskusi panjang dengan si kawan tadi dalam satu malam. “Setelah itu saya langsung menyatakan ingin pergi ke masjid bersamanya,” ungkap Sayeed.
Ketika itu subuh dan seorang anak kecil tengah melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Tiba-tiba Sayed pun menangis. “Saya tidak tahu mengapa. Saya tidak paham bahasa Arab, saya tidak tahu apa yang ia baca, tidak tahu apa pun,” kenangnya.
“Tapi hati saya jelas telah memahami sesuatu. Itu benar-benar pengalaman luar biasa,” tutur Sayed. “Saya yang hidup di jalan ala gangster tiba-tiba bisa menangis dan tidak tahu mengapa.”
Kini selain ketenangan dan keteraturan hidup Sayed juga menemukan hal berharga lain dalam Islam. “Ketika anda menjadi seorang Muslim, anda kehilangan teman tetapi anda mendapatkan saudara,” ujarnya. Dengan segera anda menjadi anggota sebuah keluarga. Ini sesuatu yang tidak bisa saya peroleh dalam gereja-gereja di Jerman.”
dari :KisahMuallaf.com

Mantan Pastor Itu Berkisah Kenapa Pilih Islam


Bukan saya yang mencari Islam, Islam yang menemukan saya,” kata Idris Tawfiq. Ia berbicara di depan akademisi dan keluarga besar universitas papan atas Inggris, Cambridge. Di perguruan tinggi ini tengah dihajat acara tahunan Experience Islam Week, acara untuk pengenalan Islam dan toleransi.
Ia mengaku, tak ada masalah dengan masa lalunya. “Saya mencintai pekerjaan dan masa lalu saya, namun hati saya seperti dipandu memilih Islam,” katanya. “Setelah menjadi Muslim, saya menemukan kedamaian yang tak pernah saya temukan sebelumnya.”
Menurutnya, keputusannya memilih Islam adalah keputusan terbesar dalam hidupnya. Ia masih melakukan pelayanan, ketika kemudian hatinya berbicara lain. Sampai suatu saat, timbul keberanian untuk menyatakan behenti dan mundur. “Saya merasa sendiri setelah itu,” katanya.
Pertama kali, ia menyatakan berhenti menjadi pastor. Namun, ia tetap memegang kayakinan lamanya, sambil terus belajar Islam. “Saya tidak bermaksud mengubah iman saya itu bukan bagian dari rencana saya sama sekali,” katanya.
Ia menyatakan, tinggal dan besar di Inggris selama 40 tahun, ia punya pandangan stereotip tentang Muslim. Tapi saat liburan di Mesir, ia bertemu dan berteman dengan banyak orang Muslim, dan mengatakan bahwa ia mulai menyadari persepsi tentang keyakinan Islam. “Keyakinan lama saya perlahan luntur, dan Islam menjadi lebih menarik perhatian saya,” katanya.
Menurutnya, ajaran Islam sebenarnya sangat indah. “tak benar Islam mengajarkan kekerasan. “Jika Anda menyelami ajaran Islam, Anda akan menemukan ajaran agama ini benar-benar sangat indah, sangat lembut, dan manis,” katanya.
Ia menyarankan satu hal bagi mereka yang tengah belajar Islam. “Sebelum Anda membuah keputusan, tarik nafas dalam-dalam dan dengarkan apa kata Islam. Kemudian, penahi pola pikir Anda,” katanya.
Saat ini, Tawfiq memutuskan untuk tinggal di Mesir. Ia mengaku tak gamang dengan perubahan politik di negeri itu. “Satu hal yang diajarkan Islam adalah, jangan pernah terkejut dengan apapun yang datang dalam kehidupan kita. Di Mesir, semua terbukti. Siapa yang menduga hanya dalam tiga pekan tiran yang 30 tahun lebih berkuasa bisa tumbang,” katanya.
Dari : KisahMuallaf.com

Senin, 03 Januari 2011

FANATIK TAPI MUNAFIK

Artikel dari sebuah situs internet

FANATIK TAPI MUNAFIK

SATU di antara perilaku luhur yang konon dimiliki bangsa Indonesia adalah beragama atau religius. Seabrek contoh dicoba diajukan untuk membuat percaya dalam dan luar negeri bahwa bangsa ini shalih dengan agama yang dianutnya, antara lain rajin ke tempat ibadah semisal Masjid, Gereja atau Vihara. Kaum Muslim –dengan rasa berat hati penulis jadikan contoh mengingat mayoritas di Indonesia– seakan terkesan begitu shalih. Umat begitu antusias ke Masjid untuk shalat atau menyimak ceramah, berpuasa sunnah selain wajib di bulan Ramadhan, kadang ada yang bolak-balik ke tanah suci untuk menunaikan ibadah Haji dan Umrah. Namun apa output segala ibadat atau keshalihan ritual terhadap kehidupan sosial, atau apakah keshalihan ritual menjamin terbentuk keshalihan sosial seperti jujur, rajin, tepat waktu, sopan atau berbagai disiplin lainnya?

Kasus Indonesia jelas membuktikan bahwa keshalihan ritual belum tentu sejalan dengan keshalihan sosial. Kedua hal tersebut seakan sulit menyatu bagai sulitnya air berlarut dengan minyak. Bahkan mungkin Indonesia dapat menjadi wakil dari keadaan tersebut di dunia Muslim. Korupsi menempati nomor 6 di dunia dan pornografi menempati urutan kedua, jelas membuktikan bahwa kehidupan ritual dan sosial seakan berjalan sendiri-sendiri. Indonesia tetap atau masih dikenal sebagai negara korup, preman, mistik atau segala jenis kebobrokan hukum/moral lainnya.

Bangsa Indonesia mengalami masalah kepribadian ganda dalam soal adab. Dasar atau fitrah yang memang barbar ditambah penjajahan yang demikian lama agaknya menempatkan Indonesia sebagai bangsa yang (mungkin) paling bejad.

Kebejadan paling dasar bangsa ini dapat disimak dari mental syiriknya. Sebelum bangsa ini mengenal agama dari luar, berbagai pemujaan terhadap berbagai sosok yang dinilai besar, indah, mengagumkan atau menakutkan semisal pohon besar, batu besar, gunung, matahari atau petir telah berlangsung lama. Hal tersebut masih bertahan walau secara formal telah menganut agama tertentu.

Ziarah kubur yang dimaksudkan untuk mengingat mati dan akhirat diselewengkan menjadi ‘ritual’ untuk memohon berkah atau selamat kepada orang yang telah menjadi bangkai atau tulang belulang, karena dinilai sebagai sosok keramat atau suci. Kebejadan lain yang menyertainya adalah bahwa berkah atau selamat yang dimaksud lebih cenderung bercorak duniawi ketimbang ukhrawi semisal minta harta, jodoh, anak, disukai lawan jenis atau disayang atasan.

Coba tengok ke tempat ziarah di seantero Nusantara semisal Banten, Cirebon, Demak, Imogiri bahkan di kota-kota besar semisal Jakarta. Para pengemis –asli maupun palsu– dengan sigap memanfaatkan kepercayaan tersebut untuk minta-minta sedekah kepada peziarah, ditambah tukang copet yang tanpa segan-segan beraksi di tempat yang dinilai keramat tersebut.

Faham pra Islam lain yang masih bertahan adalah ritual seperti selamatan sekian hari untuk yang mati: 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Pada mulanya para ulama pada awal masa da’wah Islam di Jawa membiarkan tersebut untuk sementara. Pertimbangannya, masyarakat Jawa yang baru mengenal Islam tidak kaget karena terbiasa dengan ritual tersebut sebagai dampak pengaruh Hindu-Budha sekitar 1500 tahun lamanya.

Sebagai awal perubahan, pelan-pelan mereka mengubah mantra dengan do’a. Permainan wayang –yang akrab dengan masyarakat Jawa– diselipkan dengan pesan-pesan Islami. Namun kebiasaan tersebut menjadi berkepanjangan karena da’wah terhambat oleh konflik dengan imperialis Barat. Kekuatan asing tersebut bahkan bergabung dengan kekuatan yang masih berfaham pra Islam untuk menghambat da’wah Islam yang murni sesuai dengan kitab dan sunnah.

Konflik berkepanjangan dengan konspirasi anti Islam tersebut berakibat banyak aset umat semisal masjid dan pesantren rusak, para ulama banyak yang tewas, hilang atau ditangkap. Dampaknya, rakyat yang waktu itu masih mengenal Islam sebatas kulit, menjadi kehilangan tuntunan. Rakyat kembali melaksanakan ritual pra Islam dicampur dengan Islam, hal yang berlangsung hingga kini.

Potensi umat terkuras oleh perang sehingga da’wah menjadi terbelakang. Terpeliharalah “penyakit” umat yang terangkum dalam singkatan TBC (Tahyul, Bid’ah, Churafat) hingga kini. Kaum Muslim cenderung menerima apa saja yang dikatakan ulama atau kiyahi tanpa mencoba mengolah dengan logika (taqlid), umumnya banyak terdapat di pesantren. Berbagai ritual yang tak jelas sumbernya atau sulit dipertanggung jawabkan secara ‘aqliyyah maupun naqliyyah bermunculan di tengah umat (bid’ah), jika ada yang menyangkal langsung ditanggapi dengan emosional, bukan rasional.

Faham yang bukan-bukan semisal sekian hari setelah kematian arwah si mati akan mengunjungi rumah keluarganya juga masih belum lenyap. Padahal dalam ‘aqidah Islam jika seseorang telah mati maka arwahnya berada di alam barzakh, bukan gentayangan di dunia.

Praktek mistik semisal santet, adalah bentuk praktek pra Islam yang masih lestari bahkan di daerah-daerah yang dikenal dengan kental nuansa Islami semisal Banten dan Jawa Timur. Hal tersebut diperparah karena praktek tersebut tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat al-Qur-an atau do’a-do’a Islam lainnya, semisal untuk memikat lawan jenis, mencelakakan orang yang dibenci atau disayang atasan. Ada yang mempelajari dan mengamalkannya sendiri, ada pula yang minta bantuan kepada orang-orang yang ahli tentang itu, lazim disebut dukun.

Memang, pada hakekatnya kejahatan adalah kebaikan yang diselewengkan. Tuhan telah menciptakan alam semesta –termasuk dunia– dalam keadaan baik, tetapi dirusak, diselewengkan oleh manusia sehingga dunia betul-betul menjadi rusak. Namun ironisnya, dunia yang kelak disalahkan sebagai penyebab “kerusakan” manusia, padahal dunia adalah ciptaan Tuhan jua sebagai bentuk kasih-Nya kepada insan.

Penyelewengan sesuatu kebaikan berlaku juga untuk al-Qur’an, banyak ayat-ayat yang dipakai untuk yang bertentangan dengan hakekat ayat itu sendiri. Contoh yang sederhana mungkin begini, jika al-Qur’an dibaca dari kanan ke kiri insya Allah akan menjadi rahmat atau berkah, namun jika dibaca dari kiri ke kanan atau dibolak-balik begitu rupa bukan mustahil menjadi santet atau sihir.

Penulis pernah menemukan kitab-kitab yang menggunakan huruf atau bacaan berbahasa Arab untuk tujuan sihir atau apalah istilahnya, lazim dikenal dengan sebutan mujarabat. Isinya antara lain tolak bala terima laba. Inilah tantangan berat atau kerja besar bagi para intelek Muslim –atau apapun istilahnya– untuk melanjutkan da’wah yang tertunda akibat penjajahan yang lama, kembali pada pemurnian dan juga pembaharuan pemahaman agama.

Namun, da’wah yang mungkin begitu giat dilaksanakan agaknya mendapat hambatan –sadar maupun tidak– justru dari para intelek itu sendiri, ‘kegagalan’ para ahli agama adalah menyampaikan pesan-pesan agama yang membumi atau terkait langsung dengan corak hidup sehari-hari, sehingga secara sadar tidak sadar turut melestarikan kesenjangan antara hidup ritual dengan sosial. Mereka cenderung membahas perkara yang kurang memiliki kejelasan kaitan antara agama dengan dunia semisal cerita-cerita seputar suasana surga dan neraka, atau mereka menyampaikan pesan-pesan agama yang masih bersifat umum, cenderung kurang memberi contoh konkrit dalam hidup sehari-hari.

Memang, surga dan neraka atau tegasnya akhirat itu ada, namun bagaimana cara menyikapi akhirat selama hidup di dunia? Jika hal tersebut dibahas, penulis ulangi, masih bersifat umum semisal ajakan “mari beriman atau bertakwa kepada tuhan”. Tetapi apakah contoh konkrit iman atau takwa dalam hidup sehari-hari? Akibat kegagalan tersebut, tidak heran jika kita mungkin pernah menyaksikan atau bahkan diri sendiri merasakan hasil “masuk masjid tobat keluar masjid kumat”, yaitu kumat selingkuhnya atau maksiatnya semisal bohong atau korupsi.

Cenderung terabaikan bahwa kesempatan beragama justru ketika masih hidup di dunia, bukan di akhirat. Di akhirat, kita mendapat balasan berdasar perilaku hidup di dunia. Dengan demikian, faham sekuler tidak mendapat tempat dalam Islam. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan dunia semisal politik dan ekonomi. Namun justru kita tanpa sadar atau kadang sadar membuat pemisahan antara kedua hal tersebut. Kita rajin shalat misalnya, namun juga rajin korupsi.

Kebejadan berikut adalah kecenderungan bangsa ini menggunakan agama sebagai kedok, atau membawa-bawa ayat dan hadits jika berbicara padahal perilakunya diketahui menyimpang dari perkataannya. Mengenai ini penulis sering bertemu dengan orang-orang demikian. Contohnya dalam hal perkawinan, penulis sering dipertanyakan status lajangnya: mengapa belum juga menikah. Ketika penulis memberi beberapa alasan intelek, mereka dengan sigap berdalih, “Menikah itu sunnah rasul, lho…”

Penulis yakin bahwa bangsa ini pasti tetap berkeinginan dan melaksanakan pernikahan, walaupun tidak ada sunnah rasul. Coba kita tinjau sejarah, bangsa ini mengenal ‘budaya kawin’ jauh sebelum mereka mengenal sunnah rasul, atau tegasnya jauh sebelum kenal agama. Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 sesudah Masehi, padahal penduduk Nusantara sudah ada sejak sekitar 3000-2000 sebelum Masehi. Ketika mereka mengenal agama (Islam), mereka agaknya mendapat peluang menjadikan agama sebagai kosmetik untuk urusan syahwat tersebut supaya terkesan elegan. Padahal, bangsa ini pada dasarnya adalah bangsa terbelakang, fikirannya tak jauh dari selangkangan. Karena itu sulit mendapat pencerahan yang akan menuntun kepada kemajuan atau capaian kemanusiaan.

Tambahan pula, jika ingin bersunnah rasul kenapa cuma menikah yang disebut-sebut? Padahal, yang namanya sunnah rasul tidak hanya menikah. Kedisiplinan, rajin, teliti, jujur mencari rezeki atau seluruh perbuatan yang tergolong amar ma’ruf nahyi munkar, adalah sunnah rasul. Bukankah rasul banyak memberi contoh perilaku demikian?

Inilah suatu bukti bahwa betapa dangkal kaum Muslim Indonesia memahami agama Islam. Pada hakikatnya bangsa ini tidak beragama, mereka sibuk mencari dunia: yang kaya menambah kekayaannya dan mengamankan asetnya, sedangkan si miskin jungkir balik demi sesuap nasi, sehingga tidak sempat membaca buku agama. Namun konyolnya, jika ada kasus yang sedikit terkait dengan agama, mereka beramai-ramai berebut omong agama, semua ingin didengar pendapatnya. Mendadak semua menjadi “pakar” agama.

Langkah untuk memperbaiki umat di Indonesia adalah terus menerus memberi pemahaman agama sesuai sumber aslinya. Jangan buru-buru menyatakan secara resmi negara ini menjadi negara Islam, apa gunanya syari’at Islam secara formal tercantum dalam konstitusi atau hukum tertulis lainnya jika umatnya belum faham atau siap? Islam mengutamakan isi, bukan kulit. Jika rakyat dengan sadar atau faham agama, tanpa mencantumkan syari’at pun dalam berbagai produk hukum, otomatis Indonesia akan menjadi Islami.

Pembentukan berbagai partai berasaskan Islam atau beramai-ramai ulama masuk partai politik atau menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, belum dapat menjadi ukuran bahwa Indonesia menjadi Islami. Begitu banyak parpol Islam justru menunjukan bahwa kaum Muslim terpecah-belah, padahal agama menyuruh umat bersatu. Ulama masuk parpol atau berpolitik praktis berakibat ulama punya musuh politik, padahal ulama justru harus berada di atas semua golongan. Ulama menjadi anggota dewan perwakilan rakyat justru membuat asyik mengurus jabatan atau mempertahankan jabatan, bukan mengurus atau membela umat.

Bahkan ada kecenderungan ulama menjadi selebritis selain para artis, politisi atau atlit, ini mengandung resiko bahwa mereka akan berjarak dengan umat, yang mayoritas justru menengah ke bawah. Padahal ulama harus “merangkul” semua golongan. Serahkan politik, hukum atau ekonomi kepada ahlinya, namun ulama mesti menjadikan yang bersangkutan sadar atau faham untuk berperilaku agamis, semisal menjaga batas halal dan haram dalam bidang yang dijalaninya, bukan mesti menjadikannya hafal ayat dan hadits. Ini sedikit contoh saja.

Masih ada lagi kebejadan yang tak disadari padahal telah menempatkan Indonesia dalam peringkat 2 di dunia, yaitu pornografi, mencakup pula prostitusi. Praktek korupsi –yang lebih banyak bikin heboh– ternyata menempatkan Indonesia “hanya” pada peringkat 6 dunia.

Di beberapa negeri yang kita nilai bejad, ternyata berlaku pembatasan terhadap pornografi. Di Indonesia, bacaan dan tontonan porno begitu mudah dijangkau oleh yang mereka yang berusia “di bawah umur” semisal terang-terangan digelar di tepi jalan atau minimal disamarkan dengan bacaan atau tontonan “halal” yang didapat dengan bisik-bisik. Belum lagi termasuk situs internet mudah ditemukan asal tahu alamatnya, cukup diawali dengan membuka search engine Google. Dengan demikian pornografi merambah ke dalam rumah, dapat diintip tanpa perlu keluar rumah.

Keajaiban Indonesia dalam urusan syahwat tersebut adalah, betapa ada daerah-daerah yang dikenal begitu agamis ternyata banyak menghasilkan pelacur dengan berbagai istilah. Mengenai ini kalau boleh penulis sebut antara lain adalah Cirebon. Daerah ini dikenal dengan kebiasaan nikah muda –umumnya ketika panen– mengingat daerah tersebut terdapat lahan pertanian yang begitu luas, atau para orangtua menjodohkan anak pada usia muda untuk lekas bebas dari tanggung jawab. Pasangan muda tersebut cenderung boros, uang hasil panen tersebut dipakai untuk membeli perabotan dan perhiasan. Ketika masa paceklik, mulailah barang-barang tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan hingga habis. Kurang nafkah berakibat muncul cekcok suami-istri hingga cerai, jadilah perempuan tersebut menjadi ”janda kembang” atau “janda muda”.

Ada juga yang bercerai karena perkawinannya tidak didasarkan cinta, melainkan karena menuruti kehendak orangtua. Untuk bertahan hidup mereka memilih prostitusi di dalam maupun di luar daerahnya, bahkan dengan dukungan orangtua. Tidak jarang ada orangtua yang menjual putrinya kepada sindikat prostitusi. Konon hal tersebut telah berlangsung turun temurun, faktornya karena kemiskinan atau memiliki budaya materialistis atau konsumtif, yaitu ingin hidup enak dengan jalan pintas.

Penulis pernah melakukan semacam survey di lokasi prostitusi di dekat Merak, Banten. Dari beberapa orang yang penulis tanya ternyata mereka berasal dari satu kampung yang sama di daerah Cirebon. Sebelumnya, penulis pernah dengar dari seorang teman yang berasal dari Cirebon, bahwa desa tersebut memang gudangnya pelacur. Motif yang mereka ajukan cenderung klasik: masalah ekonomi.

Daerah tersebut juga dikenal sebagai gudang kekerasan, sejak lama tawuran antar kampung terjadi. Agaknya, jalur Pantura (pantai utara) merupakan daerah Latinnya Indonesia: berdarah panas, emosional, fanatik namun munafik. Getol beribadat (ritual) namun getol pula bermaksiat! Ini pekerjaam serius bagi para intelek yang mendambakan suasana agamis di negeri ini.

Demikianlah uraian sebuah artikel yang kami dapat pada sebuah situs internet.

Cara yang dapat ditempuh untuk maksud tersebut di atas adalah bahwa selain da’wah dengan mulut (da’wah bil lisan), juga da’wah dengan praktek (da’wah bil haal). Datangi, dekati, ajak dan ajari ummat untuk mengenal dirinya, mengenal kebesaran Tuhannya, kecilkan masalah yang menyangkut dunia, selalu perdengarkan kebaikan-kebaikan, kisah-kisah orang baik dan sukses di mata Allah, orang-orang yang memandang kebesaran akhirat dan kehidupan yang kekal abadi, seperti mereka yang patut dijadikan contoh yaitu kehidupan para sahabat Rasulullah saw. Bagaimana mereka menyikapi dunia, bagaimana mereka mentaati firman Allah dan sabda RasulNya, bagaimana mereka sangat merindukan kehidupan yang teramat indah sebagaimana dijanjikan Tuhan mereka.

Ajaklah mereka untuk makmurkan masjid (khusus bagi kaum muslimin) dengan memperbanyak mengamalkan perintah Allah dan sunnah RasulNya, kemudian untuk mengajak saudara muslim lainnya untuk melakukan hal yang sama, dengan ikhlas, dengan bekal sendiri sesuai kemampuan, dan dirinya yang berangkat, bukan orang lain dulu, untuk belajar tidak mencintai dunia, walaupun ia tetap bergumul dengan dunia dan memerlukannya.
Jelaslah bahwa hal ini bukan cuma tugas ulama, kiyai, ajengan tetapi juga presiden, menteri, gubernur, jenderal dan sebagainya. Da’wah dengan perbuatan lazim dikenal dengan istilah “da’wah bil haal”.

Insya Allah, kefakiran harta benda tidak akan menyebabkan kekafiran. Sabda Rasul, “kefakiran dapat menyebabkan kekafiran”. Tidak dengan mudah menafsirkannya dengan kefakiran harta benda dunia. Orang bilang, “Miskin dapat menggoda orang menjadi penipu, pencuri, perampok, pembunuh atau pindah agama!” itu karena miskin iman. Iman yang hanya ada di mulut itu mudah diucapkan, dan dia akan menang dalam persidangan, akan berani menyerang orang yang menuduhnya tidak beriman, akan berani demo manakala ada kepentingan tertentu atau dengan upah tak seberapa.

Orang menjadi penipu, ketika sudah kaya dari hasil penipuanpun ia akan tetap menipu sebagai ladang penghasilan. Banyak orang kaya bahkan berpangkat tinggi berprofesi sebagai penipu. Orang miskin yang menipu karena kemiskinan, barangkali karena derma dan sedekah tiada diamalkan dalam kehidupan kecuali hanya sedikit orang. Zakat yang memang jelas sebagai tuntunan ibadah, tidak digembar-gemborkan secara maksimal. Tetapi porsi yang lebih banyak justru hal-hal yang menyangkut keduniaan yang disuarakan dengan lantang oleh penulis artikel yang saya unduh dari situs di atas. “Bersekolah, berdagang, berpolitik juga dapat bernilai ibadah,” katanya. Padahal banyak orang bersekolah hasil lulusannya jadi koruptor, ujiannya nyontek, gurunya pembocor soal ujian nasional. Apa lagi? Banyak pedagang yang curang, sabda nabi menempatkan pasar (pusat perdagangan) sebagai tempat yang paling buruk dan kotor di dunia, sampai-sampai ada sabda nabi yang melarang jual beli dalam masjid.

Orang menjadi pencuri, orang menjadi perampok, orang menjadi pembunuh, setelah kaya raya mereka tetap tidak dapat mengamalkan agama secara ikhlas dan sempurna, kecuali bila ia memiliki iman yang sempurna. Sedangkan contoh iman yang sempurna hanya mengambil suritauladan dari Rasulullah saw. Dan mencontoh kehidupan para sahabat Beliau.

Orang pindah agama ada banyak karena kekurangan harta, tetapi banyak juga sebuah desa yang semua masyarakatnya sudah pindah ke agama selain Islam, kemudian ketika ada serombongan ummat Islam yang datang dan peduli mereka, dengan ramah dalam kerisauan, maka satu kampung beserta aparatnya kembali kedalam Islam, lalu mengirim beberapa pemudanya untuk belajar Islam ke sebuah pesantren. Jadi masalahnya bukan karena kefakiran harta benda, tetapi kurang kepedulian ummat Islam yang ada di daerah lainnya.

Jumat, 24 Desember 2010

Pemikiran Anehkah?


Jika aku berfikir bagaimana supaya seluruh manusia mendapat hidayah untuk menempuh jalan yang lurus sebagaimana jalan yang ditempuh para nabi dan rasul Allah, anehkah? Jika aku dan banyak dari saudara kita yang muslim bergerak ke seluruh dunia untuk silaturahim kepada sesama manusia untuk sebarkan kedamaian hidup bersama kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah Muhammadur rasuulullah." Sesatkah jalan ini? Kalau kami berkunjung untuk mempererat tali persaudaraan sesama muslim dan mengingatkan untuk senantiasa mengamalkan ajaran Islam sebagaimana para sahabat r.anhum demi mencapai keridhoanNya, dosakah?

Banyak orang menyibukkan diri dalam kesia-siaan, misal: berburu menu masakan di berbagai kota, berlibur ke penjuru dunia, menimbun harta, dll. ini dianggap pemikiran yang wajar dan waras. Bahkan orang berlomba untuk hal seperti itu. Coba pikirkan!

Senin, 13 Desember 2010

Kunjungan Balasan


Malam ini aku berkunjung ke Warureja untuk memenuhi permintaan kunjungan balasan, yaitu ke desa Banjarsari untuk untuk silaturahmi kepada saudara muslim di sini. Alhamdulillah banyak aku temui saudara muslim, dan bertemu juga dengan sdr Sekhu, teman lama seperjuangan dulu ketika masa mudanya, kini masih saja eksis di dunianya.

Selasa, 30 November 2010

MEMBERI SATU DIRHAM LALU ALLAH MEMBERINYA SERATUS DUA PULUH RIBU DIRHAM



Dari Al-Fudhail bin Iyadh, ia berkata, seorang laki-laki menceritakan kepadaku: "Ada laki-laki yang keluar membawa benang tenun, lalu ia menjualnya satu dirham untuk membeli tepung. Ketika pulang, ia melewati dua orang laki-laki yang masing-masing menjambak kepal kawannya. Ia lalu bertanya, 'Ada apa?' Orang pun memberitahunya bahwa keduanya bertengkar karena uang satu dirham. Maka, ia berikan uang satu dirham kepada keduanya, dan iapun tak memiliki sesuatu.

Ia lalu mendatangi isterinya seraya mengabarkan apa yang telah terjadi. Sang isteri lalu mengumpulkan perkakas rumah tangga. Laki-laki itu pun berangkat kembali untuk menggadaikannya, tetapi barang-barang itu tidak laku. Tiba-tiba kemudian ia berpapasan dengan laki-laki yang membawa ikan yang menebar bau busuk. Orang itu lalu berkata kepadanya, 'Engkau membawa sesuatu yang tidak laku, demikian pula dengan yang saya bawa. Apakah Anda mau menukarnya dengan barang (daganganku)?' Ia pun mengiakan. Ikan itu pun dibawanya pulang. Kepada isterinya ia berkata, 'Dindaku, segeralah urus (masak) ikan ini, kita hampir tak berdaya karena lapar!' Maka sang isteri segera mengurus ikan tersebut. Lalu dibelahnya perut ikan tersebut. Dengan mengejutkan sebuah mutiara keluar dari perut ikan tersebut. Wanita itu pun berkata gembira, 'Suamiku, dari perut ikan ini keluar sesuatu yang lebih kecil daripada telur ayam, ia hampir sebesar telur burung dara'.

Suaminya berkata, 'Perlihatkanlah kepadaku!' Maka ia melihat sesuatu yang tak pernah dilihatnya sepanjang hidupnya. Pikirannya melayang, hatinya berdebar. Ia lalu berkata kepada isterinya, 'Tahukah engkau berapa nilai mutiara ini?'
'Tidak, tetapi aku mengetahui siapa orang yang pintar dalam hal ini', jawab istrinya.
Lalu suaminya mengambil mutiara itu. Ia segera pergi ke tempat para penjual mutiara. Ia menghampiri kawannya yang ahli di bidang mutiara. Ia mengucapkan salam kepadanya, sang kawan pun menjawab salamnya. Selanjutnya ia berbicara kepadanya seraya mengeluarkan sesuatu sebesar telur burung dara. 'Tahukah Anda, berapa nilai ini?, ia bertanya.
Kawannya memperhatikan barang itu begitu lama, baru kemudian ia berkata, 'Aku menghargainya 40 ribu. Jika Anda mau, uang itu akan kubayar kontan sekarang juga kepadamu. Tapi jika Anda menginginkan harga lebih tinggi, pergilah kepada si fulan, dia akan memberimu harga lebih tinggi dariku'.

Maka ia pun pergi kepadanya. Orang itu memperhatikan barang tersebut dan mengakui keelokannya. Ia kemudian berkata, 'Aku hargai barang itu 80 ribu. Jika Anda menginginkan harga lebih tinggi, pergilah kepada si fulan, saya kira dia akan memberi harga lebih tinggi dariku'.
Segera ia bergegas menuju kepadanya. Orang itu berkata, 'Aku hargai barang itu 120 ribu. Dan saya kira, tidak ada orang yang berani menambah sedikitu pun dari harga itu!' 'Ya',
ia pun setuju. Lalu harta itu ditimbangnya. Maka pada hari itu, ia membawa dua belas kantung uang. Pada masing-masingnya terdapat 10.000 dirham. Uang itu pun ia bawa ke rumahnya untuk disimpan. Tiba-tiba di pintu rumahnya ada seorang fakir yang meminta-minta. Maka ia berkata, 'Saya punya kisah, karena itu masuklah'. Orang itu pun masuk. Ia berkata, 'Ambillah separuh dari hartaku ini. Maka, orang fakir itu mengambil enam kantung uang dan dibawanya. Setelah agak menjauh, ia kembali lagi seraya berkata, 'Sebenarnya aku bukanlah orang miskin atau fakir, tetapi Allah Ta'ala telah mengutusku kepadamu, yakni Dzat yang telah mengganti satu dirhammu dengan 20 qirath. Dan ini yang diberikanNya kepadamu adalah baru satu qirath daripada-nya, dan Dia menyimpan untukmu 19 qirath yang lain.

Oleh : Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia